Sunday, May 4, 2008
Monday, October 15, 2007
INDUSTRIALISASI ADVOKAT DI INDONESIA

Advocate is officio nobile, masih terlintas di pikiran Saya sampai sekarang sewaktu membaca artikel menarik mengenai profesi hukum yang satu ini di salah satu majalah terbitan ibukota. Saat itu Saya masih kuliah di fakultas hukum di salah satu universitas negeri di kota Malang. Sangat menarik bagi Saya karena tidak memungkiri bahwa nama tenar, harta melimpah, semua melekat pada profesi ini.
Saya kemudian membaca artikel lain yang mana menyebutkan asal-usul pengacara adalah “pretor” di jaman kejayaan Romawi. Mereka (para pretor) ini membela manusia yang disangkakan bersalah sebelum ada putusan dari Raja. Hakikat fungsi pretor ini mirip dengan advokat/pengacara di jaman modern, karena dalam hukum pun terdapat istilah “presumption of innocence”, inilah istilah yang selalu didengung-dengungkan dalam dunia kepengacaraan.
Keadaan menjadi berubah di jaman modern, advokat telah menjadi “sebuah industri yang sangat menjanjikan di masa modern”, terlebih kalau di negara Indonesia ini yang sedang giat-giatnya memberantas korupsi, semua tersangka koruptor berhak mendapatkan perlakuan hukum yang semestinya dan pembelaan terbaik dari seorang atau pun beberapa orang pengacara, jadi banyak sekali tersangka koruptor yang memerlukan bantuan pengacara. Pendapat itu Saya anggap memang relatif kebenarannya. Berpijak dari sistem menjadi advokat yang dijalankan oleh PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, dari awal proses telah terjadi industrialisasi. Sebagaimana yang Saya ketahui, sejak Pendidikan Khusus Profesi Advokat dibuat, baik yang diselenggarakan oleh IKADIN, AAI, IPHI, telah terjadi komersialisasi terhadap PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat). PERADI sebagai organisasi tertinggi advokat (walaupun masih kontroversi) menetapkan bahwa biaya untuk menempuh pendidikan profesi itu sebesar Rp. 3-5 juta, belum lagi biaya ujian advokat sebesar Rp. 700 ribu. Maka tak heran banyak pengacara hanya mengejar materi yaitu dengan cara apapun berusaha meraih kemenangan termasuk menyuap polisi, jaksa maupun hakim. Bukanlah keberanian berdebat argumentasi hukum secara logis, namun hanya mangandalkan lobi-lobi yang tidak jelas, sehingga kongkalikong dengan aparat penegak hukum tersebut tidak menciptakan proses beracara yang benar (terkesan asal-asalan pokoknya jadi pengacara) dan fair trial court. Terlebih lagi penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution) yang belum populer di masyarakat semakin mendorong lahirnya advokat-advokat yang tahu hakim bukan advokat-advokat yang tahu hukum. Padahal di dalam ADR, mekanisme penyelesaian sengketa tidak berbelit-belit dan kongkalikong antara para penegak hukum itu bisa diminimalisir. Namun ADR tak luput dari kelemahan, yaitu mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak berbelit-belit tidak menjamin bahwa perkara tersebut bisa cepat selesai karena tergantung pada beberapa hal salah satunya proses negosiasinya mudah atau sulit antara para pihak bersengketa itu.
Kelemahan lainnya adalah ADR dapat dilaksanakan hanya terbatas pada perkara perdata, sedangkan perkara pidana, perkara tata usaha negara maupun perkara di luar hukum perdata, menurut Saya tidak mungkin dilaksanakan karena dapat menghancurkan proses beracara yang sudah ada. Sebagai contoh: kalau perkara pidana di ADR-kan, polisi, jaksa, hakim, terdakwa, pengacara akan terlibat proses lobi (negosiasi harga) yang mendorong terjadinya saling suap dan berakibat semakin maraknya korupsi.
Permasalahan mengenai dunia advokat di Indonesia tak hanya sampai disitu. PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) yang baru saja berdiri setelah adanya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, masih saja dipertanyakan legitimasinya oleh advokat-advokat yang sudah berpraktek puluhan tahun seperti Adnan Buyung Nasution maupun advokat-advokat muda yang baru lulus ujian PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat). Tentu saja keabsahan PERADI tidak dipertanyakan oleh advokat-advokat yang duduk sebagai pengurus dalam organisasi tersebut. Tak hanya legitimasi PERADI yang dipertanyakan, kesimpangsiuran standar nilai kelulusan ujian advokat pun menyisakan masalah.
Sebenarnya industrialisasi advokat ini memang tidak dapat dielakkan, mengingat era globalisasi telah ada di hadapan semua orang termasuk advokat, ungkapan kasarnya kurang lebih “Advokat pun butuh uang untuk makan”. Namun bukan berarti bahwa pengacara hanya tahu hakim ‘kan?
Industrialisasi advokat ini sangat kentara bila para advokat itu berkecimpung di bidang hukum bisnis. Sebagaimana masyarakat ketahui bahwa bisnis erat sekali hubungannya dengan uang dan dalam menjalankan bisnisnya, seorang pengusaha pun harus mengetahui aspek-aspek legalitas pendirian perusahaan dan legalitas dalam menjalankan perusahaan. Dalam memberikan konsultasi hukum biasanya tarif sudah ditentukan terlebih dahulu. Bila ada perusahaan dengan legalitas cacad, maka yang berhak disalahkan adalah para konsultan hukum (biasanya advokat pun dapat berperan sebagai konsultan hukum) di negeri ini karena telah memberikan konsultasi hukum yang salah. Tapi mana yang lebih penting bagi orang-orang Indonesia kebanyakan, tarif atau konsultasi yang benar? Rupanya orang-orang kita lebih senang “kejar setoran” daripada “konsultasi yang benar”. Dapatkah konsultan hukum diperkarakan karena memberikan konsultasi yang salah? Sudah barang tentu dapat. Lalu dapatkah mereka melobi jaksa, hakim, polisi? Sudah barang tentu…? Menariknya belum banyak beredar di madia massa mengenai konsultan hukum yang bermasalah dengan hukum sendiri. Kalau pengacara memang lebih banyak terkena kasus karena mereka terkadang berperan juga sebagai “mafia peradilan”. Namun kasus konsultan hukum ini kurang terblow-up media. Pengawasan yang sangat kurang sekali di intern body asosiasi-asosiasi profesi hukum menjadi salah satu faktor pendukung tumbuh suburnya “black officio-officio nobile”. Jadi Saya pelesetkan para pengacara itu tidak berkecimpung di “hukum bisnis”, namun “bisnis hukum”.
Pikiran-pikiran dangkal mencari uang tidak hanya di dunia advokat, namun merambah ke dunia kedokteran Indonesia. Profesi hanya sebagai simbol kebanggaan dan banyaknya angka gugatan mal praktek di dunia kedokteran Indonesia menjadi salah satu buktinya. Hal ini lebih makro menjadi cermin dunia pendidikan Indonesia. Pertanyaan singkat: Burukkah pendidikan di Indonesia? Atau mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang malas belajar? Kalau ingin mencari uang, ya jadi pebisnis saja, jangan profesi-profesi ilmiah seperti itu. Betulkan…?
Saya kemudian membaca artikel lain yang mana menyebutkan asal-usul pengacara adalah “pretor” di jaman kejayaan Romawi. Mereka (para pretor) ini membela manusia yang disangkakan bersalah sebelum ada putusan dari Raja. Hakikat fungsi pretor ini mirip dengan advokat/pengacara di jaman modern, karena dalam hukum pun terdapat istilah “presumption of innocence”, inilah istilah yang selalu didengung-dengungkan dalam dunia kepengacaraan.
Keadaan menjadi berubah di jaman modern, advokat telah menjadi “sebuah industri yang sangat menjanjikan di masa modern”, terlebih kalau di negara Indonesia ini yang sedang giat-giatnya memberantas korupsi, semua tersangka koruptor berhak mendapatkan perlakuan hukum yang semestinya dan pembelaan terbaik dari seorang atau pun beberapa orang pengacara, jadi banyak sekali tersangka koruptor yang memerlukan bantuan pengacara. Pendapat itu Saya anggap memang relatif kebenarannya. Berpijak dari sistem menjadi advokat yang dijalankan oleh PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, dari awal proses telah terjadi industrialisasi. Sebagaimana yang Saya ketahui, sejak Pendidikan Khusus Profesi Advokat dibuat, baik yang diselenggarakan oleh IKADIN, AAI, IPHI, telah terjadi komersialisasi terhadap PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat). PERADI sebagai organisasi tertinggi advokat (walaupun masih kontroversi) menetapkan bahwa biaya untuk menempuh pendidikan profesi itu sebesar Rp. 3-5 juta, belum lagi biaya ujian advokat sebesar Rp. 700 ribu. Maka tak heran banyak pengacara hanya mengejar materi yaitu dengan cara apapun berusaha meraih kemenangan termasuk menyuap polisi, jaksa maupun hakim. Bukanlah keberanian berdebat argumentasi hukum secara logis, namun hanya mangandalkan lobi-lobi yang tidak jelas, sehingga kongkalikong dengan aparat penegak hukum tersebut tidak menciptakan proses beracara yang benar (terkesan asal-asalan pokoknya jadi pengacara) dan fair trial court. Terlebih lagi penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution) yang belum populer di masyarakat semakin mendorong lahirnya advokat-advokat yang tahu hakim bukan advokat-advokat yang tahu hukum. Padahal di dalam ADR, mekanisme penyelesaian sengketa tidak berbelit-belit dan kongkalikong antara para penegak hukum itu bisa diminimalisir. Namun ADR tak luput dari kelemahan, yaitu mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak berbelit-belit tidak menjamin bahwa perkara tersebut bisa cepat selesai karena tergantung pada beberapa hal salah satunya proses negosiasinya mudah atau sulit antara para pihak bersengketa itu.
Kelemahan lainnya adalah ADR dapat dilaksanakan hanya terbatas pada perkara perdata, sedangkan perkara pidana, perkara tata usaha negara maupun perkara di luar hukum perdata, menurut Saya tidak mungkin dilaksanakan karena dapat menghancurkan proses beracara yang sudah ada. Sebagai contoh: kalau perkara pidana di ADR-kan, polisi, jaksa, hakim, terdakwa, pengacara akan terlibat proses lobi (negosiasi harga) yang mendorong terjadinya saling suap dan berakibat semakin maraknya korupsi.
Permasalahan mengenai dunia advokat di Indonesia tak hanya sampai disitu. PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) yang baru saja berdiri setelah adanya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, masih saja dipertanyakan legitimasinya oleh advokat-advokat yang sudah berpraktek puluhan tahun seperti Adnan Buyung Nasution maupun advokat-advokat muda yang baru lulus ujian PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat). Tentu saja keabsahan PERADI tidak dipertanyakan oleh advokat-advokat yang duduk sebagai pengurus dalam organisasi tersebut. Tak hanya legitimasi PERADI yang dipertanyakan, kesimpangsiuran standar nilai kelulusan ujian advokat pun menyisakan masalah.
Sebenarnya industrialisasi advokat ini memang tidak dapat dielakkan, mengingat era globalisasi telah ada di hadapan semua orang termasuk advokat, ungkapan kasarnya kurang lebih “Advokat pun butuh uang untuk makan”. Namun bukan berarti bahwa pengacara hanya tahu hakim ‘kan?
Industrialisasi advokat ini sangat kentara bila para advokat itu berkecimpung di bidang hukum bisnis. Sebagaimana masyarakat ketahui bahwa bisnis erat sekali hubungannya dengan uang dan dalam menjalankan bisnisnya, seorang pengusaha pun harus mengetahui aspek-aspek legalitas pendirian perusahaan dan legalitas dalam menjalankan perusahaan. Dalam memberikan konsultasi hukum biasanya tarif sudah ditentukan terlebih dahulu. Bila ada perusahaan dengan legalitas cacad, maka yang berhak disalahkan adalah para konsultan hukum (biasanya advokat pun dapat berperan sebagai konsultan hukum) di negeri ini karena telah memberikan konsultasi hukum yang salah. Tapi mana yang lebih penting bagi orang-orang Indonesia kebanyakan, tarif atau konsultasi yang benar? Rupanya orang-orang kita lebih senang “kejar setoran” daripada “konsultasi yang benar”. Dapatkah konsultan hukum diperkarakan karena memberikan konsultasi yang salah? Sudah barang tentu dapat. Lalu dapatkah mereka melobi jaksa, hakim, polisi? Sudah barang tentu…? Menariknya belum banyak beredar di madia massa mengenai konsultan hukum yang bermasalah dengan hukum sendiri. Kalau pengacara memang lebih banyak terkena kasus karena mereka terkadang berperan juga sebagai “mafia peradilan”. Namun kasus konsultan hukum ini kurang terblow-up media. Pengawasan yang sangat kurang sekali di intern body asosiasi-asosiasi profesi hukum menjadi salah satu faktor pendukung tumbuh suburnya “black officio-officio nobile”. Jadi Saya pelesetkan para pengacara itu tidak berkecimpung di “hukum bisnis”, namun “bisnis hukum”.
Pikiran-pikiran dangkal mencari uang tidak hanya di dunia advokat, namun merambah ke dunia kedokteran Indonesia. Profesi hanya sebagai simbol kebanggaan dan banyaknya angka gugatan mal praktek di dunia kedokteran Indonesia menjadi salah satu buktinya. Hal ini lebih makro menjadi cermin dunia pendidikan Indonesia. Pertanyaan singkat: Burukkah pendidikan di Indonesia? Atau mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang malas belajar? Kalau ingin mencari uang, ya jadi pebisnis saja, jangan profesi-profesi ilmiah seperti itu. Betulkan…?
Malang, September 9, 2007
Mochammad Riyadi, SH
I AM NOW
After a several month's I didn't blogging, my blog extremely unconcious alias pingsan dan harus "OPNAME" ( masuk rumah sakit/get in to the hospital) kalau diartikan secara Indonesia. Well kalau sekarang aku nge-blog ya karena bener-bener males surfing laennya, dah selesai. Sambil ngisi waktu gitu. Dan karena lagi males mikir juga nge-blog English ya pake' mix languages (Indonesia and English). What a though day! Don't you know just for beginnng ya copy-paste aja some of essay have been made by me. Ya barang tentu, lagi males.
S**t, ngapain aja beberapa bulan ini. Cari relasi di Law Firm dan belajar lagi tentang Korupsi. Belajar lagi, belajar lagi, kapan selesainya ya. Sambil cari kerjaan yang lebih baik dan promising job, gimana lagi ya kudu gitu biar tercapai cita-cita "International Corporate Advokat".
Idealism promises nothing. Setelah sekian lama berkutat dengan idealisme nggak jelas macam gitu, sekarang berangsur-angsur mulai turun. Mau makan apaan kalau idealis terus-terusan. Pokoknya entar aja nge-blog lagi. Wait for the next essy okay!!!
S**t, ngapain aja beberapa bulan ini. Cari relasi di Law Firm dan belajar lagi tentang Korupsi. Belajar lagi, belajar lagi, kapan selesainya ya. Sambil cari kerjaan yang lebih baik dan promising job, gimana lagi ya kudu gitu biar tercapai cita-cita "International Corporate Advokat".
Idealism promises nothing. Setelah sekian lama berkutat dengan idealisme nggak jelas macam gitu, sekarang berangsur-angsur mulai turun. Mau makan apaan kalau idealis terus-terusan. Pokoknya entar aja nge-blog lagi. Wait for the next essy okay!!!
Wednesday, April 4, 2007
A SEVERE CRITICS TO MALAYSIA TOURISM

On Sunday morning I watched Metro TV in my bedroom. Oh, there was a interested news about blogs in e-Lifestyle Metro TV "Malaysia Digoyang Blogger". Malaysia tourism was critized by Indonesia journalist name Nila. She went to Malaysia for journalism duty, and she chose travel agent to sorround all of Malaysia tourism places included Petronas Tower. She is really happy about that because she never been to Petronas Tower before. But suddenly the travel agent canceled Petronas Tower journey. Well, the travel agent is belong to Malaysia travel agent in this case. Of course she really angry about it and wrote it in her blog. As journalist she has so many friends in real world and cyber world. Her friends opened the blog and read it, and then made a opinion to about it, in each blog and in cyber discussions forum. A lot of Malaysian made it to, and then The Prime Minister of Malaysia is very angry about it, because it's could be killing Malaysia tourism and the symbol "Malaysia is Truly Asia" would be failed. The Prime Minister said that "all of bloggers are liar". Hmmm I really disagree because what I know is blogger mostly wrote some post based on what they feel-see-hear, just like me.
And then shown up the problem about the ethic code of blog which is the ways have to do, so this problem wouldn't happened again. The wrong thing, blogs are used as fact by beginner surfer and it couldn't be right thing. But there are blogs are facts to, so I could say that blogs sometimes are telling a lie and sometimes blogs are telling the truth. We can't make a rules to write blogs because it's free journalism and we couldn't judge all of the bloggers are liar. Sue the bloggers is the stupid thing and the judges who makes winning position besides blogger are bad judges. This is prove how strong a blog nowdays in cyber world as a alternative media.
And then shown up the problem about the ethic code of blog which is the ways have to do, so this problem wouldn't happened again. The wrong thing, blogs are used as fact by beginner surfer and it couldn't be right thing. But there are blogs are facts to, so I could say that blogs sometimes are telling a lie and sometimes blogs are telling the truth. We can't make a rules to write blogs because it's free journalism and we couldn't judge all of the bloggers are liar. Sue the bloggers is the stupid thing and the judges who makes winning position besides blogger are bad judges. This is prove how strong a blog nowdays in cyber world as a alternative media.
Monday, April 2, 2007
MY CHOICES
Oh My God, Allah SWT, are you listening to me. I'm sick about my life right now. That you already know my saving getting less and maybe could be enough for one month. It's been two months since graduated I get no luck. I'm totally sux's unemployment who has no money and ARE YOU SUX'S? Just ask by your selves... Come on. What's wrong with my life which is organized by God. Who's proper to be blame, Me or God??? If the condition continuous, I couldn't reach my dream. Wanna know, become:
1. Employee's, look for scholarship in foreign university, work in foreign country, and never come back to Indonesia
2. Employee's and have some business field
3. Employee's, full businessman
4. Employee's, full professional lawyer
5. Employee's, professional lawyer and politician and have some business
And those choices are purposes in the one thing, MONEY.
Tuesday, March 27, 2007
APPLIED LAW THEORY
The university students could be considered as agent of change and make a huge changing in every country. Their radical thinking tendency sometimes becomes a boomerang for them selves. Every university students ideally have three characters that are student in the university, professional human resources in their field of education (could become a part of institution or company) and as a public servant.
Why I can say that their radical thinking tendency becomes a boomerang or in fact even timebomb for them selves. It's because they are facing with the balance of three characters, but those three characters never balance, so that makes them too busy with one or two characters and they're not ready and prepare with all of globalization changing what is demand self improvement and dynamic character in some kind of institution. It's just a few of students who can fulfil those three characters what I already say.
Education in Indonesia is facing dilemma problems, what would be created? A thinker? Or, a young professional ready to work? Besides, a problem about minimum calculation of education become an addition problem what is could not solve the dilemma problem.
The public opinion apparently affirm that study in university is to becoming a worker (employee's) and it's not becoming a thinker. Salary factor is becoming a reason that a thinker could not (apart from luck and destiny) be a rich person and couldn't increase standart of living.
And then who is proper to be blame about the system? The government? I often laughing if there are people said that the government is proper to be blame about the broken system. A lot of demontrations by public, academics, politicians, and also Non Government Organizations apparently still can't push government to do something and the government is closed on all of the problems.
And then, as university students what would we do? When I was a law student I've dilemma problem experiences. The Indonesian law's is totally under/being politicization and should be given severe of critics. The Indonesian law's is already broken and sick, but why we're still obidient and do the broken law. This is what idealist person thinking, but for me as a law practitioner...WHO CARES!!!
The only way out, I think we must act out of the conventional learning system. Law student in United States of America accept a lecture with the Socrates Method. This method teach that student have always think pragmatism in studying law cases. The lecturer is always give law cases for discussed in front of class with student. Law student is demanded to read so many books, so many articles, which are could find in the library, surfing on the internet, etc, as long as related with the cases. Those element (books, articles, etc) could be certained by lecturer or not.
So student is always demanded to ready an prepare to discuss and answer several quetions from lecturer. In addition, that law student must apprentice in the professional law firm, so could become a professional law pratitioner , not "THE PERSON WITH ALL OF CRAPP AND IDEALISM THEORY THAT MAKES ME SICK", eventhough they're just graduated from law school.
Law student in United States of America compete each other individually and professionally in law market to face globalization era needs abouy professional law practitioner. Eventually, this is what I called "APPLIED LAW THEORY". A big question, when law education in Indonesia could be like that???
Why I can say that their radical thinking tendency becomes a boomerang or in fact even timebomb for them selves. It's because they are facing with the balance of three characters, but those three characters never balance, so that makes them too busy with one or two characters and they're not ready and prepare with all of globalization changing what is demand self improvement and dynamic character in some kind of institution. It's just a few of students who can fulfil those three characters what I already say.
Education in Indonesia is facing dilemma problems, what would be created? A thinker? Or, a young professional ready to work? Besides, a problem about minimum calculation of education become an addition problem what is could not solve the dilemma problem.
The public opinion apparently affirm that study in university is to becoming a worker (employee's) and it's not becoming a thinker. Salary factor is becoming a reason that a thinker could not (apart from luck and destiny) be a rich person and couldn't increase standart of living.
And then who is proper to be blame about the system? The government? I often laughing if there are people said that the government is proper to be blame about the broken system. A lot of demontrations by public, academics, politicians, and also Non Government Organizations apparently still can't push government to do something and the government is closed on all of the problems.
And then, as university students what would we do? When I was a law student I've dilemma problem experiences. The Indonesian law's is totally under/being politicization and should be given severe of critics. The Indonesian law's is already broken and sick, but why we're still obidient and do the broken law. This is what idealist person thinking, but for me as a law practitioner...WHO CARES!!!
The only way out, I think we must act out of the conventional learning system. Law student in United States of America accept a lecture with the Socrates Method. This method teach that student have always think pragmatism in studying law cases. The lecturer is always give law cases for discussed in front of class with student. Law student is demanded to read so many books, so many articles, which are could find in the library, surfing on the internet, etc, as long as related with the cases. Those element (books, articles, etc) could be certained by lecturer or not.
So student is always demanded to ready an prepare to discuss and answer several quetions from lecturer. In addition, that law student must apprentice in the professional law firm, so could become a professional law pratitioner , not "THE PERSON WITH ALL OF CRAPP AND IDEALISM THEORY THAT MAKES ME SICK", eventhough they're just graduated from law school.
Law student in United States of America compete each other individually and professionally in law market to face globalization era needs abouy professional law practitioner. Eventually, this is what I called "APPLIED LAW THEORY". A big question, when law education in Indonesia could be like that???
Thursday, February 22, 2007
ADVOCATE, IT'S A CHOICE...

Advocate is just a occupation. It's a choice to be good advocate's or devil's advocate. Don't think too much that you could change Indonesia law's what is already too ramshakle.
There are two principle in law that we must carriage. Those are "equality before the law" and "presumption of innocent". Defense our client blood by blood.
There are times we win, there are times we must and have to win, there are time we loose.
That's all just a long process to makes us better and more terrific.
It's always have a risk in every job. We're not living in UTOPIA ISLAND, don't you think so?
There are two principle in law that we must carriage. Those are "equality before the law" and "presumption of innocent". Defense our client blood by blood.
There are times we win, there are times we must and have to win, there are time we loose.
That's all just a long process to makes us better and more terrific.
It's always have a risk in every job. We're not living in UTOPIA ISLAND, don't you think so?
Subscribe to:
Posts (Atom)