
Advocate is officio nobile, masih terlintas di pikiran Saya sampai sekarang sewaktu membaca artikel menarik mengenai profesi hukum yang satu ini di salah satu majalah terbitan ibukota. Saat itu Saya masih kuliah di fakultas hukum di salah satu universitas negeri di kota Malang. Sangat menarik bagi Saya karena tidak memungkiri bahwa nama tenar, harta melimpah, semua melekat pada profesi ini.
Saya kemudian membaca artikel lain yang mana menyebutkan asal-usul pengacara adalah “pretor” di jaman kejayaan Romawi. Mereka (para pretor) ini membela manusia yang disangkakan bersalah sebelum ada putusan dari Raja. Hakikat fungsi pretor ini mirip dengan advokat/pengacara di jaman modern, karena dalam hukum pun terdapat istilah “presumption of innocence”, inilah istilah yang selalu didengung-dengungkan dalam dunia kepengacaraan.
Keadaan menjadi berubah di jaman modern, advokat telah menjadi “sebuah industri yang sangat menjanjikan di masa modern”, terlebih kalau di negara Indonesia ini yang sedang giat-giatnya memberantas korupsi, semua tersangka koruptor berhak mendapatkan perlakuan hukum yang semestinya dan pembelaan terbaik dari seorang atau pun beberapa orang pengacara, jadi banyak sekali tersangka koruptor yang memerlukan bantuan pengacara. Pendapat itu Saya anggap memang relatif kebenarannya. Berpijak dari sistem menjadi advokat yang dijalankan oleh PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, dari awal proses telah terjadi industrialisasi. Sebagaimana yang Saya ketahui, sejak Pendidikan Khusus Profesi Advokat dibuat, baik yang diselenggarakan oleh IKADIN, AAI, IPHI, telah terjadi komersialisasi terhadap PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat). PERADI sebagai organisasi tertinggi advokat (walaupun masih kontroversi) menetapkan bahwa biaya untuk menempuh pendidikan profesi itu sebesar Rp. 3-5 juta, belum lagi biaya ujian advokat sebesar Rp. 700 ribu. Maka tak heran banyak pengacara hanya mengejar materi yaitu dengan cara apapun berusaha meraih kemenangan termasuk menyuap polisi, jaksa maupun hakim. Bukanlah keberanian berdebat argumentasi hukum secara logis, namun hanya mangandalkan lobi-lobi yang tidak jelas, sehingga kongkalikong dengan aparat penegak hukum tersebut tidak menciptakan proses beracara yang benar (terkesan asal-asalan pokoknya jadi pengacara) dan fair trial court. Terlebih lagi penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution) yang belum populer di masyarakat semakin mendorong lahirnya advokat-advokat yang tahu hakim bukan advokat-advokat yang tahu hukum. Padahal di dalam ADR, mekanisme penyelesaian sengketa tidak berbelit-belit dan kongkalikong antara para penegak hukum itu bisa diminimalisir. Namun ADR tak luput dari kelemahan, yaitu mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak berbelit-belit tidak menjamin bahwa perkara tersebut bisa cepat selesai karena tergantung pada beberapa hal salah satunya proses negosiasinya mudah atau sulit antara para pihak bersengketa itu.
Kelemahan lainnya adalah ADR dapat dilaksanakan hanya terbatas pada perkara perdata, sedangkan perkara pidana, perkara tata usaha negara maupun perkara di luar hukum perdata, menurut Saya tidak mungkin dilaksanakan karena dapat menghancurkan proses beracara yang sudah ada. Sebagai contoh: kalau perkara pidana di ADR-kan, polisi, jaksa, hakim, terdakwa, pengacara akan terlibat proses lobi (negosiasi harga) yang mendorong terjadinya saling suap dan berakibat semakin maraknya korupsi.
Permasalahan mengenai dunia advokat di Indonesia tak hanya sampai disitu. PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) yang baru saja berdiri setelah adanya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, masih saja dipertanyakan legitimasinya oleh advokat-advokat yang sudah berpraktek puluhan tahun seperti Adnan Buyung Nasution maupun advokat-advokat muda yang baru lulus ujian PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat). Tentu saja keabsahan PERADI tidak dipertanyakan oleh advokat-advokat yang duduk sebagai pengurus dalam organisasi tersebut. Tak hanya legitimasi PERADI yang dipertanyakan, kesimpangsiuran standar nilai kelulusan ujian advokat pun menyisakan masalah.
Sebenarnya industrialisasi advokat ini memang tidak dapat dielakkan, mengingat era globalisasi telah ada di hadapan semua orang termasuk advokat, ungkapan kasarnya kurang lebih “Advokat pun butuh uang untuk makan”. Namun bukan berarti bahwa pengacara hanya tahu hakim ‘kan?
Industrialisasi advokat ini sangat kentara bila para advokat itu berkecimpung di bidang hukum bisnis. Sebagaimana masyarakat ketahui bahwa bisnis erat sekali hubungannya dengan uang dan dalam menjalankan bisnisnya, seorang pengusaha pun harus mengetahui aspek-aspek legalitas pendirian perusahaan dan legalitas dalam menjalankan perusahaan. Dalam memberikan konsultasi hukum biasanya tarif sudah ditentukan terlebih dahulu. Bila ada perusahaan dengan legalitas cacad, maka yang berhak disalahkan adalah para konsultan hukum (biasanya advokat pun dapat berperan sebagai konsultan hukum) di negeri ini karena telah memberikan konsultasi hukum yang salah. Tapi mana yang lebih penting bagi orang-orang Indonesia kebanyakan, tarif atau konsultasi yang benar? Rupanya orang-orang kita lebih senang “kejar setoran” daripada “konsultasi yang benar”. Dapatkah konsultan hukum diperkarakan karena memberikan konsultasi yang salah? Sudah barang tentu dapat. Lalu dapatkah mereka melobi jaksa, hakim, polisi? Sudah barang tentu…? Menariknya belum banyak beredar di madia massa mengenai konsultan hukum yang bermasalah dengan hukum sendiri. Kalau pengacara memang lebih banyak terkena kasus karena mereka terkadang berperan juga sebagai “mafia peradilan”. Namun kasus konsultan hukum ini kurang terblow-up media. Pengawasan yang sangat kurang sekali di intern body asosiasi-asosiasi profesi hukum menjadi salah satu faktor pendukung tumbuh suburnya “black officio-officio nobile”. Jadi Saya pelesetkan para pengacara itu tidak berkecimpung di “hukum bisnis”, namun “bisnis hukum”.
Pikiran-pikiran dangkal mencari uang tidak hanya di dunia advokat, namun merambah ke dunia kedokteran Indonesia. Profesi hanya sebagai simbol kebanggaan dan banyaknya angka gugatan mal praktek di dunia kedokteran Indonesia menjadi salah satu buktinya. Hal ini lebih makro menjadi cermin dunia pendidikan Indonesia. Pertanyaan singkat: Burukkah pendidikan di Indonesia? Atau mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang malas belajar? Kalau ingin mencari uang, ya jadi pebisnis saja, jangan profesi-profesi ilmiah seperti itu. Betulkan…?
Saya kemudian membaca artikel lain yang mana menyebutkan asal-usul pengacara adalah “pretor” di jaman kejayaan Romawi. Mereka (para pretor) ini membela manusia yang disangkakan bersalah sebelum ada putusan dari Raja. Hakikat fungsi pretor ini mirip dengan advokat/pengacara di jaman modern, karena dalam hukum pun terdapat istilah “presumption of innocence”, inilah istilah yang selalu didengung-dengungkan dalam dunia kepengacaraan.
Keadaan menjadi berubah di jaman modern, advokat telah menjadi “sebuah industri yang sangat menjanjikan di masa modern”, terlebih kalau di negara Indonesia ini yang sedang giat-giatnya memberantas korupsi, semua tersangka koruptor berhak mendapatkan perlakuan hukum yang semestinya dan pembelaan terbaik dari seorang atau pun beberapa orang pengacara, jadi banyak sekali tersangka koruptor yang memerlukan bantuan pengacara. Pendapat itu Saya anggap memang relatif kebenarannya. Berpijak dari sistem menjadi advokat yang dijalankan oleh PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, dari awal proses telah terjadi industrialisasi. Sebagaimana yang Saya ketahui, sejak Pendidikan Khusus Profesi Advokat dibuat, baik yang diselenggarakan oleh IKADIN, AAI, IPHI, telah terjadi komersialisasi terhadap PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat). PERADI sebagai organisasi tertinggi advokat (walaupun masih kontroversi) menetapkan bahwa biaya untuk menempuh pendidikan profesi itu sebesar Rp. 3-5 juta, belum lagi biaya ujian advokat sebesar Rp. 700 ribu. Maka tak heran banyak pengacara hanya mengejar materi yaitu dengan cara apapun berusaha meraih kemenangan termasuk menyuap polisi, jaksa maupun hakim. Bukanlah keberanian berdebat argumentasi hukum secara logis, namun hanya mangandalkan lobi-lobi yang tidak jelas, sehingga kongkalikong dengan aparat penegak hukum tersebut tidak menciptakan proses beracara yang benar (terkesan asal-asalan pokoknya jadi pengacara) dan fair trial court. Terlebih lagi penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution) yang belum populer di masyarakat semakin mendorong lahirnya advokat-advokat yang tahu hakim bukan advokat-advokat yang tahu hukum. Padahal di dalam ADR, mekanisme penyelesaian sengketa tidak berbelit-belit dan kongkalikong antara para penegak hukum itu bisa diminimalisir. Namun ADR tak luput dari kelemahan, yaitu mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak berbelit-belit tidak menjamin bahwa perkara tersebut bisa cepat selesai karena tergantung pada beberapa hal salah satunya proses negosiasinya mudah atau sulit antara para pihak bersengketa itu.
Kelemahan lainnya adalah ADR dapat dilaksanakan hanya terbatas pada perkara perdata, sedangkan perkara pidana, perkara tata usaha negara maupun perkara di luar hukum perdata, menurut Saya tidak mungkin dilaksanakan karena dapat menghancurkan proses beracara yang sudah ada. Sebagai contoh: kalau perkara pidana di ADR-kan, polisi, jaksa, hakim, terdakwa, pengacara akan terlibat proses lobi (negosiasi harga) yang mendorong terjadinya saling suap dan berakibat semakin maraknya korupsi.
Permasalahan mengenai dunia advokat di Indonesia tak hanya sampai disitu. PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) yang baru saja berdiri setelah adanya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, masih saja dipertanyakan legitimasinya oleh advokat-advokat yang sudah berpraktek puluhan tahun seperti Adnan Buyung Nasution maupun advokat-advokat muda yang baru lulus ujian PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat). Tentu saja keabsahan PERADI tidak dipertanyakan oleh advokat-advokat yang duduk sebagai pengurus dalam organisasi tersebut. Tak hanya legitimasi PERADI yang dipertanyakan, kesimpangsiuran standar nilai kelulusan ujian advokat pun menyisakan masalah.
Sebenarnya industrialisasi advokat ini memang tidak dapat dielakkan, mengingat era globalisasi telah ada di hadapan semua orang termasuk advokat, ungkapan kasarnya kurang lebih “Advokat pun butuh uang untuk makan”. Namun bukan berarti bahwa pengacara hanya tahu hakim ‘kan?
Industrialisasi advokat ini sangat kentara bila para advokat itu berkecimpung di bidang hukum bisnis. Sebagaimana masyarakat ketahui bahwa bisnis erat sekali hubungannya dengan uang dan dalam menjalankan bisnisnya, seorang pengusaha pun harus mengetahui aspek-aspek legalitas pendirian perusahaan dan legalitas dalam menjalankan perusahaan. Dalam memberikan konsultasi hukum biasanya tarif sudah ditentukan terlebih dahulu. Bila ada perusahaan dengan legalitas cacad, maka yang berhak disalahkan adalah para konsultan hukum (biasanya advokat pun dapat berperan sebagai konsultan hukum) di negeri ini karena telah memberikan konsultasi hukum yang salah. Tapi mana yang lebih penting bagi orang-orang Indonesia kebanyakan, tarif atau konsultasi yang benar? Rupanya orang-orang kita lebih senang “kejar setoran” daripada “konsultasi yang benar”. Dapatkah konsultan hukum diperkarakan karena memberikan konsultasi yang salah? Sudah barang tentu dapat. Lalu dapatkah mereka melobi jaksa, hakim, polisi? Sudah barang tentu…? Menariknya belum banyak beredar di madia massa mengenai konsultan hukum yang bermasalah dengan hukum sendiri. Kalau pengacara memang lebih banyak terkena kasus karena mereka terkadang berperan juga sebagai “mafia peradilan”. Namun kasus konsultan hukum ini kurang terblow-up media. Pengawasan yang sangat kurang sekali di intern body asosiasi-asosiasi profesi hukum menjadi salah satu faktor pendukung tumbuh suburnya “black officio-officio nobile”. Jadi Saya pelesetkan para pengacara itu tidak berkecimpung di “hukum bisnis”, namun “bisnis hukum”.
Pikiran-pikiran dangkal mencari uang tidak hanya di dunia advokat, namun merambah ke dunia kedokteran Indonesia. Profesi hanya sebagai simbol kebanggaan dan banyaknya angka gugatan mal praktek di dunia kedokteran Indonesia menjadi salah satu buktinya. Hal ini lebih makro menjadi cermin dunia pendidikan Indonesia. Pertanyaan singkat: Burukkah pendidikan di Indonesia? Atau mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang malas belajar? Kalau ingin mencari uang, ya jadi pebisnis saja, jangan profesi-profesi ilmiah seperti itu. Betulkan…?
Malang, September 9, 2007
Mochammad Riyadi, SH